Selasa, 24 Mei 2011

uang dan pembangunan

UANG dan pembangunan

1. Uang sangat penting bagi kehidupan manusia, karena tanpa uang bisa dikatakan kita tidak bisa membeli barang-barang yang kita butuhkan dan yang kita inginkan. Jadi, pengertian uang adalah sesuatu yang dapat diterima oleh masyarakat umum sebagai alat pembayaran dan alat tukar-menukar yang sah. Pengertian uang yang diberikan oleh para ahli berbeda-beda. Berikut beberapa pendapat dari lima ahli ekonomi ini: Robertson dalam buku Money ( 1992 ): Uang adalah segala sesuatu yang umum diterima dalam pembayaran barang-barang.
2. R. S. Sayers dalam buku Modern Banking ( 1938 ): Uang adalah segala sesuatu yang umum diterima sebagai pembayar utang.
3. A.C. Pigou dalam buku The Veil of Money: Uang adalah segala sesuatu yang umum sebagai alat tukar.
4. Albert Goilt Hart dalam buku Money, Debt, and Economic Activity: Uang adalah kekayaan sehingga pemilik dapat membayar utangnya dalam jumlah dan waktu tertentu.
5. Rollin G. Thomas dalam buku Our Modern Banking and Monetary System: Uang adalah segala sesuatu yang siap sedia dan diterima umum dalam pembayaran pembelian barang-barang, jasa-jasa, dan untuk pembayaran utang.

Walaupun pengertian ahli-ahli diatas berbeda-beda tetapi sesungguhnya kita bisa mengambil keuntungan dengan merangkum semuanya menjadi pengertian uang secara luas. Pendapat para ahli tersebut juga menunjukan fungsi uang dalam kehidupan masyarakat. Berikut fungsi-funsi uang:

1. Uang sebagai Alat Tukar-Menukar. Uang adalah sebagai alat tukar-menukar dalam melakukan transaksi dalam jual beli. Jadi, saat kita menyerahkan sejumlah uang, kita akan menerima barang yang kita inginkan. Artinya, semua barang dapat diukur nilainya dalam mata uang yang berlaku.
2. Uang sebagai Alat Satuan Hitung. Saat kita melihat banyaknya jumlah uang yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan barang-barang, jasa-jasa, atau yang lainnya kita dapat membandingkan nilainya. Saat itulah uang difungsikan sebagai alat satuan hitung.
3. Uang sebagai Alat Penyimpan Kekayaan. Saat kita mempunyai uang atau deposito di bank. Artinya, kita menyimpan kekayaan dalam bentuk uang sehingga uang telah berfungsi sebagai alat penyimpan kekayaan ( state of value ).
4. Uang sebagai Alat Penyelesaian Utang Piutang. Dengan adanya uang, transaksi pinjam-meminjam antara pihak yang berlebihan ( surplus unit ) dan pihak yang kekurangan ( defisit unit ) dapat dilakukan dengan mudah. Pada saat seperti inilah, uang telah berfungsi sebagai alat penyelesaian utang piutang ( standard of deferred payments ).

Syarat-syarat Uang:
1) Diterima umum dan sah menurut undang-undang.
2) Nilainya tidak mengalami perubahan dari waktu ke waktu.
3) Mudah dibawa kemana-mana.
4) Mudah disimpan tanpa mengurangi nilainya.
5) Tahan lama.
6) Jumlahnya terbatas ( tidak berlebih ).
7) Bendanya mempunyai mutu yang sama.
Jenis-jenis Nilai Uang:
1) Nilai Nominal. Nilai nominal adalah nilai yang tertulis pada setiap mata uang.
2) Nilai Intrinsik. Nilai intrinsik adalah nilai uang yang diukur dari bahan yang digunakan dalam pembuatannya.
Nilai nominal uang kertas biasanya lebih besar daripada nilai intrinsiknya. Sebaliknya, nilai nominal uang logam kemungkinan besar sama dengan nilai intrinsiknya karena bahan uang logam terbuat dari emas dan tembaga yang lebih mahal dibandingkan kertas. Di samping itu, pembuatannya jauh lebih sulit sehingga memerlukan banyak biaya. Jadi, semakin mahal dan biaya pembuatannya, semakin tingggi nilai intrinsik uang.
Jenis-jenis Uang:
1) Berdasarkan Bahan Pembuat Uang.

* Berdasarkan bahan pembuat uang tersebut, uang dikelompokkan menjadi uang logam dan uang kertas. Uang kertas disebut juga dengan folding money atau uang yang dapat dilipat oleh orang yang memegangnya.

2) Berdasarkan Nilai Uang.

* Jika uang mempunyai nilai intrinsik sama dengan nilai nominal, uang itu bernialai uang penuh ( fullbodied money ). Jika nilai intrinsik lebih kecil dibandingkan nilai nominal, uang itu disebut uang bernilai tidak penuh ( token money ) atau uang tanda. Artinya, uang ini bertindak mewakili sejumlah logam tertentu dengan nilai barangnya sama dengan nilai nominal uang.

3) Berdasarkan Wilayah Berlaku.
a) Uang Domestik, yaitu uang yang hanya berlaku dalam suatu negara tertentu saja. Contoh: rupiah, ringgit, peso, dan baht.
b) Uang regional, yaitu uang yang hanya berlaku di kawasan tertentu, seperti uang euro berlaku bagi negara-negara kawasan Eropa.
c) Uang Internasional, yaitu uang yang berlaku tidak hanya didalam wilayah suatu negara tertentu saja, tetapi juga berlaku di dunia ( internasional ). Misalnya: dolar, yen, dan ppoundsterling.
4) Berdasarkan Lembaga atau Badan yang Mengeluarkan.
a) Uang Kartal.
Uang kartal adalah uang yang diterbitkan oleh bank sentral yang berupa uang logam dan uang kertas dengan berbagai nilai nominal.
Ciri-cri uang kartal:

* Berlaku di seluruh lapisan masyarakat.
* Diterima oleh masyarakat sebagai alat pembayaran, alat tukar, dan alat pelunasan utang.
* Nilai nominalnya sudah tertera pada mata uang dengan nilai tertentu.
* Dijamin oleh pemerintah.
* Adanya kepastian pembayaran sesuai nilai nominalnya.

b) Uang Giral.
Uang giral adalah uang yang diterbitkan oleh bank umum yang berupa cek, bilyet giro, dan telegraphic transfer.
Ciri-ciri uang giral:

* Berlaku di kalangan masyarakat tertentu.
* Masyarakat umum boleh menolaknya sebagai alat pembayaran, alat tukar, dan pelunasan utang.
* Besar nilai nominalnya bebas dan harus ditulis dahulu sesuai kebutuhan.
* Dijamin oleh bank yang mengeluarkan.
* Belum adanya kepastian pembayaran karena tergantung dari ketersediaan dana dan kepastian hukum.

Pembiayaan Pembangunan.
Pertumbuhan kota di negara berkembang seperti indonesia memang pesat saat ini dan mengimplikasikan, meningkatnya tuntutan permintaan atas pengadaan dan perbaikan sarana prasana dan pelayanan perkotaan, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Berdasarkan perkiraan Bank Dunia, tekanan penduduk di daerah perkotaan Indonesia selain disebabkan karena adanya pertumbuhan penduduk secara alamiah dan tingginya perpindahan penduduk dari desa ke kota, juga disebabkan karena meningkatnya pengharapan masyarakat sebagai akibat dari meningkatnya pendapatan. Sedangkan beberapa peluang dan potensi yang dimiliki oleh pemerintah, tidak dimanfaatkan secara baik. Jadi, pemerintah daerah umumnya hanya memanfaatkan sumber daya yang ada dengan sifat konvensional (tradisional), seperti misalnya pajak, retribusi dan pinjaman. Padahal, di luar sumber daya yang bersifat konvensional tersebut masih banyak jenis sumber daya lainnya yang bersifat non-konvensional (non-tradisional), yang sebenarnya berpotensi tinggi untuk dikembangkan.
Tipologi Instrumen Keuangan Bagi Pembangunan Perkotaan
Secara teoritis, modal bagi pembiayaan pembangunan perkotaan dapat diperoleh dari 3 sumber dasar:
1) Pemerintah / publik.
2) Swasta / private.
3) Gabungan antara pemerintah dengan swasta.
Jenis Instrumen Keuangan untuk Modal:
1) Pembiayaan Melalui Pendapatan ( Revenue Financing ).
a) Pembiayaan Melalui Pendapatan yang Bersifat Konvensioanal.

* Pajak.

Pajak merupakan instrumen keuangan konvensional yang sering digunakan di banyak negara. Penerimaan pajak digunakan untuk membiayai prasarana dan pelayanan perkotaan yang memberikan manfaat bagi masyarakat umum, yang biasa disebut juga sebagai “public goods”. Penerimaan pajak dapat digunakan untuk membiayai 3 pengeluaraan, yaitu: biaya investasi total ( pay as you go ), membiayai pembayaran hutang ( pay as you use ), menambah dana cadangan yang dapat digunakan untuk investasi di masa depan.

* Retribusi.

Retribusi mempunyai 2 fungsi, yaitu sebagai alat untuk mengatur ( mengendalikan ) pemanfaatan prasarana dan jasa yang tersedia dan merupakan pembayaran atas penggunaan prasarana dan jasa. Untuk wilayah perkotaan jenis retribusi yang umum digunakan misalnya air bersih, saluran limbah, persampahan dan sebagainya. Pengenaan retribusi sangat erat kaitannya dengan prinsip pemulihan biaya ( cost recovery ), dengan demikian retribusi ini ditujukan untuk menutupi biaya operasi, pemeliharaan, depresiasi dan pembayaran hutang.

* Connection Fees ( Biaya Penyambungan ).

Connection fees merupakan pungutan yang dikenakan oleh perusahaan jasa pelayanan kepada individu, misalnya air bersih, saluran pembuangan kotoran, dan telephone. Tujuan utama dari dikenakannya pungutan ini adalah untuk menutupi biaya yang timbul sebagai akibat adanya tambahan konsumen dalam jaringan yang sudah ada.
b) Pembiayaan Melalui Pendapatan yang Bersifat Non Konvensioanal.

* Betterrment Levies.

Betterment levies merupakan tagihan modal ( capital charges ) yang ditujukan untuk menutupi/membiayai biaya modal dari investasi prasarana. Dalam kenyataannya, jenis pungutan ini relatif kurang banyak digunakan. Adapun tujuan utama dari pengenaan jenis pungutan ini adalah mendorong masyarakat yang memperoleh manfaat dari adanya prasarana umum agar turut menanggung biayanya. Dengan demikian, pungutan ini dikenakan langsung kepada mereka yang memperoleh manfaat langsung dari adanya perbaikan prasarana umum tersebut. Adapun dasar pengenaannya bisa didasarkan atas jumlah area atau berdasarkan nilai taksiran manfaat yang diperolehnya.

* Development Impact Fees.

Development impact fees dibayar oleh developer kepada pemerintah daerah atau perusahaan daerah sebagai kompensasi dari adanya dampak yang ditimbulkan karena adanya pembangunan baru, misalnya pembangunan kompleks perumahan, yang berdampak pada dibutuhkannya prasarana baru di luar kompleks yang bersangkutan. Tujuan utama dari pengenaan pungutan ini adalah untuk menutupi biaya yang berkaitan dengan pembangunan prasarana yang dibutuhkan sebagai akibat dari adanya pembangunan di suatu lokasi, misalnya kompleks perumahan, industri, dan sebagainya. Pungutan ini biasanya dikenakan pada saat izin membuat bangunan ( IMB ) dikeluarkan oleh pemerintah daerah.
2) Pembiayaan Melalui Hutang ( Debt Financing ).
a) Pembiayaan Melalui Hutang yang Bersifat Konvensional.

* Pinjaman.

Secara umum pinjaman mempunyai jangka waktu lebih pendek dan relatif lebih mahal dibandingkan dengan obligasi. Namun demikian, pemerintah atau perusahaan daerah bisa melakukan pinjaman tidak hanya dalam bentuk pinjaman komersial, tetapi dapat juga dalam bentuk pinjaman non komersial, baik yang bersumber dari dalam negeri maupun luar negeri (melalui pemerintah pusat).
b) Pembiayaan Melalui Hutang yang Bersifat Non Konvensional.

* Obligasi.

Pada dasarnya obligasi juga merupakan bentuk pinjaman yang dilakukan oleh pemerintah dan perusahaan daerah untuk membiayai investasi prasarana. Sumber dana obligasi diperoleh melalui mobilisasi dana di pasar modal.

* Excess Condemnation.

Excess condemnation merupakan metode pembiayaan prasarana secara tidak langsung, dimana sejumlah tanah disisihkan untuk pembangunan prasarana, dan sejumlah lainnya diberikan pada developer swasta untuk pembangunan komersial. Sebagai imbalannya, developer berkewajiban untuk membangun prasarana yang dibutuhkan. Instrumen ini biasa digunakan untuk membangun kembali daerah-daerah kumuh, dimana melalui instrumen ini penyediaan prasarana perkotaan di daerah tersebut dapat dilaksanakan tanpa dibiayai oleh sektor publik.

* Linkage.

Developer diharuskan menyediakan dan membiayai prasarana yang sejenis di daerah lain yang kurang diinginkan, dalam rangka mendapatkan persetujuan pembangunan di daerah yang mereka inginkan. Metode semacam ini di Indonesia sudah mulai dikenal, khususnya berkaitan dengan pembangunan perumahan, dimana para developer diwajibkan untuk pembangunan perumahan sederhana sebagai kompensasi diberikannya izin untuk membangun perumahan mewah.
3) Pembiayaan Melalui Kekayaan ( Equity Financing ).
a) Pembiayaan Melalui Kekayaan yang Bersifat Non Konvensional.

* Joint Ventures.

Joint ventures merupakan kerjasama antara swasta dengan pemerintah ( private-public partnership ) dimana masing-masing pihak mempunyai posisi yang seimbang dalam perusahaan yang bersangkutan. Tujuan utama dari kerjasama ini adalah untuk memadukan keunggulan yang dimiliki sektor swasta, misalnya modal, teknologi dan kemampuan manajemen, dengan keunggulan yang dimiliki oleh sektor pemerintah, misalnya sumber-sumber, kewenangan dan kepercayaan masyarakat.

* Concession.

Beberapa contoh concessions adalah: kontrak jasa, kontrak manajemen, kontrak sewa, BOT ( Build, Operate, and Transfer ), BOO ( Build, Operate, and Own ), dan divestiture ( sektor swasta mengambil alih seluruh kontrol perusahaan dengan membeli seluruh aset pemerintah ).


2. PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN KAWASAN PERKOTAAN
2.1. Permasalahan Pembangunan di Perkotaan
Secara demografi, Indonesia merupakan negara terbesar jumlah penduduknya ke-4 di dunia setelah China, India, dan Amerika Serikat. Dengan jumlah penduduk lebih dari 224 juta jiwa, yang terdiri dari lebih 300 suku bangsa, dan hampir 60%-nya tinggal di pulau Jawa. Tingginya jumlah penduduk tersebut ternyata tidak diikuti dengan pemenuhan atas sarana dan prasarana publik yang cukup, bahkan yang adapun masih banyak yang kurang layak.
Berdasarkan data statistik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta , pada Februari 2009, angka persentase pertambahan jumlah kendaraan di DKI Jakarta, adalah 11% per tahun, sedangkan pertumbuhan panjang jalan kurang dari 1% per tahun, mengingat saat ini jumlah kendaraan bermotor di jakarta mencapai 6,3 juta kendaraan dan jumlah perjalanan kendaraan setiap harinya mencapai 17 juta perjalanan, maka rasio jumlah kendaraan pribadi dibandingkan kendaraan umum adalah 92% (kendaraan pribadi) banding 8% kendaraan umum. Dengan demikian terdapat kesetidakseimbangan antara jumlah pekerja dengan daya dukung kota (utilitas) Kota DKI Jakarta.
Ketimpangan yang sama juga diciptakan oleh pengaruh ekonomi yang mendorong terjadinya urbanisasi, sebagaimana dijelaskan dalam teori-teori proses spasial ekonomi von Thünen, Alonso, Christaller, dan Lösch dalam buku Urban Dynamics and Growth oleh Capello & Nijkamp pada tahun 2004 . Disebutkan bahwa keterbatasan infrastruktur, prasarana dan sarana mendorong fenomena ekonomi untuk berlangsung melintasi ruang geografis, sehingga fokus alokasi infrastrutur, prasarana dan sarana di seluruh ruang akan berdampak kepada dengan faktor ekonominya (dalam hal ini pembiayaan bagi penyediaan infrastruktur, prasarana dan sarana publik).
Bagi Indonesia, tahun 2008 adalah tahun yang sangat istimewa. Karena untuk pertama kalinya dalam sejarah peradaban modern Indonesia, jumlah penduduk di perkotaan telah menyamai jumlah penduduk di perdesaan. Pada tahun 1970 tercatat bahwa 82,6 % penduduk Indonesia masih tinggal di perdesaan, namun jumlah ini semakin menurun, seiring dengan terciptanya sentralisasi infrastruktur, prasarana dan sarana publik yang tidak berimbang di perkotaan. Sehingga mendorong pengaruh urbanisasi akibat faktor ekonomi sebagaimana dianalisa oleh Arthur O’Sullivan.
Pada awal dan akhirnya, semua masalah akan bermuara kepada masalah dana. Adanya kesenjangan antara kebutuhan investasi sarana, prasarana dan pelayanan jasa dengan masih terbatasnya mekanisme keuangan negara menjadi sebuah kebutuhan yang sangat mendesak.
2.2. Pembiayaan pembangunan di perkotaan
Pembiayaan pembangunan di perkotaan semakin lama semakin menjadi kebutuhan yang mendesak antara lain karena : pertama, jumlah penduduk akibat pengaruh proses urbanisasi semakin meningkat jumlahnya dari tahun ke tahun; kedua, kemampuan keuangan pemerintah daerah cenderung masih terbatas dan masih snagat bergantung kepada pembiayaan dari Pemerintah Pusat. Padahal potensi ekonomi dan keuangan di kawasan perkotaan pada dasarnya memadai, sehingga dicetuskan sebagai sebuah daerah yang otonom.
Sehingga pada prinsipnya, terdapat sumber-sumber pembiayaan untuk dikembangkan dalam upaya meningkatkan pendapatan pemerintah Kota, yang kemudian akan digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur, prasarana dan sarana sehingga dapat membantu meningkatnya perekonomian dan kesejahteraan masyarakat kota.
Beberapa peluang dan potensi yang dimiliki oleh pemerintah, khususnya berkaitan dengan mobilisasi sumber penerimaan yang sudah dimanfaatkan oleh pemerintah daerah umumnya masih bersifat konvensional (tradisional), seperti misalnya pajak, retribusi dan pinjaman. Namun pada kenyataannya, di luar sumber-sumber yang bersifat konvensional tersebut masih banyak jenis sumber-sumber lainnya yang bersifat non-konvensional (non-tradisional), yang sebenarnya berpotensi tinggi untuk dikembangkan, seperti misalnya betterment levies, development impact fees, excess condemnation, obligasi, concession, dan sebagainya.
Secara umum tipologi instrumen keuangan bagi pembangunan perkotaan diperoleh dari 3 (tiga) sumber, pertama, Pemerintah (public); kedua, Swasta (private); dan ketiga, Gabungan antara pemerintah dan swasta. Sedangkan metode pembiayaan bagi pembangunan kawasan perkotaan terdapat 3 bentuk, yaitu :
1. Pendapatan (pay-as-you-go). Membiayai pengeluaran untuk fasilitas dengan pendapatan daerah saat ini (PAD). Pada prinsipnya, metode ini berupaya membiayai pengeluaran dengan pendapatan yang dihasilkan Pemerintah pada saat ini. Sumber dana yang tersedia berasal dari pajak, retribusi, dan alokasi dana dari Pemerintah Pusat (dana perimbangan). Namun akibat jumlahnya yang terbatas dan peruntukannya yang sangat umum, maka hanya dapat digunakan untuk investasi skala kecil.
Metode pembiayaan ini memiliki beberapa keuntungan, yaitu :
• Tidak dikenai bunga, seperti pada pinjaman,
• Lebih fleksibel dalam penggunaan dana,
• Meningkatkan kredibilitas Pemerintah.
Selain keuntungan, ada juga kerugiannya, yakni :
• Jumlah dana lebih kecil dibanding kebutuhan,
• Kontributor bukan yang menikmati hasil investasi,
• Dapat disertai kenaikan pungutan.
2. Pinjaman jangka panjang. Pinjaman jangka panjang merupakan metode pembiayaan yang dana diperoleh dari pinjaman dari Pemerintah Pusat atau lembaga donor, bank komersial atau penerbitan surat hutang (obligasi) yang idealnya berumur sama dengan umur fasilitas. Penerapan metode ini sebagaimana telah diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 107 Tahun 2000 tentang Pinjaman Daerah dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 357 Tahun 2003 tentang Perubahan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 35/KMK.07/2003 tentang Perencanaan, Pelaksanaan/Penatausahaan, dan Pemantauan Penerusan Pinjaman Luar Negeri Pemerintah Kepada Daerah, berupaya memanfaatkan sumber dana murah, dari Pemerintah Pusat atau lembaga pemberi bantuan misalnya untuk pembangunan jaringan jalan antar kota, bandara dan lain sebagainya.
Metode pembiayaan ini memiliki beberapa keuntungan, yaitu :
• Biaya bunga relatif murah.
• Dapat digunakan untuk proyek berskala besar.
Selain keuntungan, ada juga kerugiannya, yakni :
• Tidak diberikan secara otomatis, perlu mengikuti proses tender, penilaian dst.
• Seringkali mensyaratkan dana pendamping.
• Proyek yang dibiayai tidak selalu menjadi prioritas di tingkat daerah.
3. Penyewaan. Salah satu bentuk pembiayaan yang umum dilakukan adalah penyewaan. Dalam hal ini pemerintah memperoleh fasilitas yang dibutuhkannya dalam melakukan pelayanan publik dengan cara menyewa, atau dengan memegang opsi kepada pemilikan infrastruktur, prasarana dan sarana tersebut.
Misalkan, Pemerintah Kota atau BUMD membutuhkan suatu peralatan yang akan dioperasikan untuk kepentingan masyarakat kota. Maka alat tersebut dapat diperoleh dengan cara sewa, artinya Pemerintah Kota (sebagai lessee) berhak mengoperasikan alat tersebut dengan membayar sewa. Mekanisme penyewaan ini biasanya dilakukan melalui institusi keuangan (bank atau lainnya).
Dalam metode penyewaan, selain model sewa, juga dikenal model sewa beli, yang mana pihak Pemerintah Kota atau BUMD yang membutuhkan suatu peralatan untuk kepentingan masyarakat kota akan memperolehnya dengan cara menyewa beli, artinya Pemkot (sebagai lessee) berhak mengoperasikan alat tersebut dengan membayar sewa. Bedanya dengan sistem sewa adalah pada akhir masa sewa, alat yang dipinjam tersebut akan menjadi milik Pemerintah Kota. Sistem ini juga umumnya menggunakan bantuan jasa lembaga keuangan.
Metode pembiayaan ini memiliki beberapa keuntungan, yaitu :
• Pola sewa-menyewa memperkecil risiko jika pengoperasian sarana/prasarana tidak berjalan baik.
• Menyerupai pinjaman jangka panjang.
Selain keuntungan, ada juga kerugiannya, yakni :
• Biaya sewa biasanya lebih tinggi dari bunga pinjaman.
• Penggunaan hanya untuk sarana/prasarana tertentu.
• “Menyewa” memberi kesan lebih rendah dari “memiliki.”
4. Pendayagunaan Aset Kota. Metode pembiayaan ini pada dasarnya merupakan suatu bentuk upaya kerjasama dimana Pemerintah Kota atau BUMD menyewakan atau melakukan kerjasama usaha atas lahan atau fasilitas yang dikuasainya. Karena itu, sebagai pemilik fasilitas atau aset, khususnya lahan di perkotaan (biasanya HPL), Pemerintah dapat bekerja sama dengan investor untuk mendayagunakan aset itu melalui berbagai bentuk, antara lain :
• Sewa,
• Build Operate Transfer (BOT), memberi hak pengusahaan kepada investor selama masa kontrak, dan pada akhir masa kontrak, fasilitas menjadi milik Pemerintah,
• Build Own Operate (BOO), memberi hak bagi mitra untuk membangun, memiliki dan mengusahakan fasilitas selama periode waktu tertentu,
• Build Own Operate Transfer (BOOT), swasta diminta membiayai fasilitas, lalu memiliki dan mengelolanya, serta akhirnya menyerahkan kepada Pemerintah pada akhir masa kontrak.
Metode pembiayaan ini memiliki beberapa keuntungan, yaitu :
• Tidak perlu mengeluarkan dana dalam kerja sama.
• Posisi Pemerintah sebagai pemilik HPL sangat kuat.
Selain keuntungan, ada juga kerugiannya, yakni :
• Karena kurang menguasai aspek bisnis dan hukum, Pemerintah atau BUMD jarang mendapat kompensasi yang wajar,
• Lahan yang sedang dipakai, tidak dapat dimanfaatkan untuk usaha lain,
• Properti BOT dapat dikenai PPN yang tinggi.
5. Pengembangan Wilayah Khusus. Metode pembiayaan ini maksudnya adalah pemerintah kota menetapkan suatu bagian kota sebagai wilayah khusus dan memungut fee dari pemilik bisnis atau properti, dalam bentuk Local Improvement District atau Business Improvement District. Pengembangan wilayah khusus ini dapat dibentuk, jika telah tersusun suatu rencana pengembangan yang secara jelas akan menguntungkan pemilik properti atau pelaku bisnis di wilayah tersebut. Kebutuhan dana dapat dipenuhi dengan urunan dari pemilik properti atau pelaku bisnis di wilayah tersebut. Jika kebutuhan dana cukup besar, maka kebutuhan dapat ditalangi dengan pinjaman, yang akan dilunasi kemudian dengan hasil urunan.
Metode pembiayaan ini memiliki beberapa keuntungan, yaitu :
• Manfaat suatu proyek akan langsung dirasakan dan dibiayai oleh pihak yang bersangkutan,
• Merupakan salah satu cara pelibatan masyarakat.
Selain keuntungan, ada juga kerugiannya, yakni :
• Masyarakat harus terdidik dan paham akan hak-haknya.
• Sulit meng-identifikasi siapa yang menerima manfaat dan berapa besar.
• Butuh aturan main yang rinci, kelengkapan dan kemampuan administrasi yang tinggi.
2.3. Metode Pembiayaan Pembangunan di Kota Surabaya, Indonesia
Manajemen kota Surabaya dikelola oleh pihak Pemerintah Daerah, berdasarkan arahan dan kontrol dari pihak Pemerintah Pusat, dan dalam prosesnya, turut melibatkan masyarakat dan pihak swasta. Namun demikian, pengelolaan kota masih didominasi oleh pihak Pemerintah Daerah. Hal tersebut berarti bahwa birokrasi pemerintahan dalam manajemen kota Surabaya memainkan peran yang sangat penting dalam menentukan jalannya pembangunan dan pengembangan kota tersebut .
Secara umum, diketahui di masa Sukarno, sejarah mencatat bahwa Jakarta dikembangkan sebagai pusat pemerintahan, sementara Surabaya, karena letaknya jauh dari pusat pemerintahan sehingga kurang terkontrol, tetap saja sebagai pusat perdagangan Indonesia. Di masa Suharto, yang lagi-lagi menerapkan kebijakan integrasi ke pasar dunia, Jakarta lalu dikembangkan sebagai pusat ekonomi dan peran Surabaya dikurangi. (Dieter Evers, H. & Korff. R, 2002) . Dari hal tersebut, kita bisa melihat dengan jelas bahwa peran pemerintah dalam menentukan arah pembangunan dan pengembangan suatu kota begitu dominan, dan hal tersebut juga berlalu dalam pembiayaannya.
Dengan adanya otonomi daerah saat ini, yakni berupa pelimpahan wewenang kepada pemerintahan daerah dengan diikuti perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, diharapkan, pengelolaan dan penggunaan anggaran sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 25 tahun 1999. Tetapi mengingat desentralisasi di bidang administrasi juga berarti transfer personal (Pegawai Negeri Sipil) yang penggajiannya menjadi tanggung jawab daerah (Landiyanto, Erlangga A., 2005) .
Formulasi kebijakan dalam mendukung pengelolaan anggaran pendapatan daerah, untuk kota Surabaya khususnya, akan lebih difokuskan pada upaya untuk mobilisasi pendapatan asli daerah dan penerimaan daerah lainnya. Kebijakan pendapatan daerah Kota Surabaya tahun 2006 – 2010 diperkirakan akan mengalami pertumbuhan rata-rata sekitar 9,31 persen dan pertumbuhan tersebut lebih disebabkan oleh adanya pertumbuhan pada komponen PAD dan komponen Dana Perimbangan yang masing-masing diperkirakan tumbuh rata-rata sekitar 15,60 persen dan 5,55 persen (Pemkot Surabaya., 2005) .
Pendapatan kota Surabaya lebih besar diperoleh dari Dana Bagi Hasil Pajak dan Dana Alokasi Umum. Khususnya terkait dengan Dana Bagi Hasil Pajak, kebijakan-kebijakan yang mendukungnya dalam beberapa kurun waktu terakhir terus disempurnakan oleh pihak pemerintah, yang dalam hal ini berperan sebagai regulator. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 pasal 2A tentang Hasil Penerimaan Pajak Propinsi yang diperuntukkan bagi Daerah Kota/Kabupaten di wilayah Propinsi yang bersangkutan dengan ketentuan Kota Surabaya mendapat bagian PKB dan BBN-KB sebesar 70% dari bagian 30% PKB dan BBN-KB.
Lebih lanjut, terkait sistem pembiayaan pembangunan kota Surabaya, bisa dikatakan hampir sepenuhnya ditentukan oleh mekanisme pemerintahan kota. Hal tersebut sejalan dengan adanya kebijakan otonomi daerah yang berlaku di Indonesia saat ini. Namun demikian, dalam prakteknya, banyak ditemukan kendala dan masalah pendanaan yang pada akhirnya menjadikan pembangunan dan pengembangan kota menjadi kurang optimal dan berjalan lambat.
Dalam Rencana Pendapatan dan Penerimaan Pembiayaan Daerah Kota Surabaya. 2010 disampaikan bahwa dengan adanya desentralisasi memberi kesempatan kepada Daerah untuk meningkatkan potensi pendapatannya tanpa tergantung pada pusat diwujudkan melalui pelaksanaan desentralisasi fiskal yaitu pemberian sumber-sumber penerimaan bagi daerah yang dapat digali dan digunakan sendiri sesuai dengan potensi daerah. Pendapatan Daerah Kota Surabaya Tahun 2010 direncanakan diperoleh dari sumber-sumber Pendapatan Daerah sebagai berikut:
1. Pendapatan Asli Daerah. Sumber pendapatan ini berasal dari : Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah Yang Dipisahkan, dan Lain-Lain PAD Yang Sah. Sumber-sumber pendapatan lain-lain PAD yang sah berasal dari hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, penerimaan jasa giro, penerimaan bunga deposito, penerimaan ganti kerugian daerah, pendapatan denda atas keterlambatan dan penerimaan lain-lain.
2. Dana Perimbangan. Sumber pendapatan ini berasal dari : Bagi Hasil Pajak, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB); Bea Peralihan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB); Pajak Penghasilan (PPh); dan Pendapatan Cukai Hasil Tembakau. Bagi Hasil Bukan Pajak. Dana Alokasi Umum. dan Dana Alokasi Khusus.
3. Lain-Lain Pendapatan Daerah Yang Sah. Sumber-sumber pendapatan lain-lain pendapatan daerah yang sah adalah Bagi Hasil Propinsi yang berasal dari Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN-KB), Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBB-KB), Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan (P3ABT), Sumbangan Pihak Ketiga (SP-3) dan Dana Bagi Hasil Lainnya yang berasal dari Retribusi IMTA, Retribusi TERA, Retribusi Pemakaian dan Pengujian Hasil Hutan kepada Pemerintah Kota/Kabupaten di Jawa Timur. Selain itu, terkait dengan target penerimaan pembiayaan khususnya, penerimaan pembiayaan kota Surabaya tahun 2010 diperkirakan hanya bersumber dari Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Sebelumnya (SiLPA).

0 komentar: