Rabu, 30 Mei 2012

Aspek Hukum Dalam Teknologi dan Bisnis


Aspek Hukum Dalam Teknologi dan Bisnis

Definisi Tekonologi dan Informatika
            Sesungguhnya sebelum menjelaskan definisi teknologi, perlu mendefenisikan hukum terlebih dahulu, tetapi definisi hukum sudah dijelaskan dalam hukum dan ekonomi. Walaupun kita begitu familier dengan istilah teknologi, tetapi belum tentu kita dapat menangkap esensi dan arti yang sesungguhya. Untuk itu, beberapa pengertian tekonologi dan dijelaskan berikut ini :
1.    Encyclopaedia Americana dalam edisi terbarunya memberikan definisi ; technology refers to all processes dealing with materials.
2.    Dalam Encyclopaedia dari Webmaster International Dictionary : The branch of knowledge that deals with the indrustrial arts and sciences; The knowledge and mean used to produce the material necessities of society.
3.    Guillustreerde/ Alfabetische Encyclopaedia memberikan arti kepada teknologi sebagai : De leer van de industrie lebereiding en verweking van natuuren kuinst produkten.
4.    Verklarend Handwoordenboek der Nederlandse Taal mendefenisikan teknologi sebagai : De leer der bewerkingen, welke de grondstoffen, door de natuur gelevered, ten behoeve van de nijverheid of een bepaalde tak van niiverheid ondergaan.
5.    Merriam Webster Dictionary : technology disamakan dengan applied science atau technical method’ of achieving a perticular purpose.

Keterampilan dapat dikatakan sebagai tekonologi apabila seseorang yang memiliki keterampilan melukis dalam kanvas dapat dituangkan dalam produksi secara massal melalui rangkaian mesin tenun, juga pengrajin batik tulis apabila dibuat dalam bentuk cap sehingga menghasilkan produksi batik secara massal dalam waktu yang singkat.
Pengertian informatika agak jarang ditemukan dalam khasanah perundang – undangan negara kita. Istilah teknologi dapat ditemukan hanya dalam Keputusan Presiden Nomor 47 Tahun 1991 tentang Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, yang juga tidak dijelaskan apa arti teknologi. Demikian halnya istilah informatika, cukup terbatas penggunaannya dalam perundang – undangan, bahkan dalam istilah keseharian pun informatika disepadankan dengan informasi. Teknologi informasi dapat dikatakan istilah baru yang merupakan terjemahan dari information technology. Teknologi ini erat sekali kaitannya dengan sistem informasi yang dihasilkan oleh suatu processor  seperti penggunaan mesin microprocessor, perangkat pengolah data.

Karakteristik  Teknologi Informasi
            Karakteristik perkembangan teknologi informasi ditandai dengan tanda – tanda berikut ini : kecepatan, kapasitas, keterpaduan, kemudahan, kemampuan, jangkauan, serta keterbukaan. Kecepatan dengan perkembangan miniaturisasi dari komponen yang sangant memendekkan jarak, maka kecepatan proses yang dapat dihasilkan praktis hanya didapati oleh kemampuan menekan susu. Beberapa perubahan terjadi, misalnya dalam bilangan MIPS ( jutaan instruksi per detik ) berganti menjadi GIPS (miliar instruksi per detik ).
            Kapasitas ; dalam pembuatan microchip, kapasitas simpanannya semakin besar. Dulu kapasitas simpan masih dalam taraf kilobytes ( ribuan posisi ingat ) menjadi megabytes ( jutaan posisi ingat ). Demikian pula kemajuan dalam penyimpanan eksternal, seperti DASD ( Direct Acces Stroage Device ) yang oerdernya sudah lazim dalam hitungan Gbytes ( miliaran posisi ingat ).
            Keterpaduan ; dengan adanya jaringan local area network ( LAN ) dan wide area network ( WAN ), maka keterpaduan pemanfaatan lintas lokasi dan bidang aplikasi merupakan hal yang biasa dan praktis. Sedangkan dalam hal kemudahan, dikenal dengan istilah user friendly. Untuk lebih melancarkan komunikasi mesin manusia, diciptakan berbagai dukungan software yang mempunyai kemampuan tuntun ( HELP ) serta dikembangkan penelitian dan prototyping berbagai media baru yang memungkinkan komunikasi yang lebih alamiah.
            Keterbukaan dan kemampuan jangkau dalam transmisi sungguh – sungguh bersifat global, menembus batas – batas yurisdiksi negara manapun tanpa adanya kendala dari otoritas lokal. Transmisi serta penelusuran berbagai global data base terjadi selama 24 jam sehari, 365 harisetahun tanpa mengenal waktu.

Pemanfaatan Teknologi Informatika di Indonesia
            Pemanfaatan teknologi di bidang informatika pada dasarnya dapat dikelompokan ke dalam empat macam, yaitu :
  1. Aplikasi administrasi sumber daya
  2. Aplikasi operasional
  3. Aplikasi iptek
  4. Aplikasi penelusuraninformasi
Beberapa proyek yang berskala nasional telah menggunakan jasa teknologi informasi adalah Sistem Informasi Manajemen Kepegawaian RI ( SIMKRI ), Sistem Informasi Manajemen Dalam Negeri ( SIMDAGRI ), Sistem Informasi Manajemen Kejaksaan Agung ( SIMKA ), dan tidak ketinggalan Departemen Kehakiman melalui Sistem Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum ( SJDIH ).



» Read Full Article

Selasa, 29 Mei 2012

hukum kontrak internasional


hukum kontrak internasional

Hukum Kontrak Internasional


I. Pengertian :

Hukum Kontrak Internasional merupakan bagian dari Hukum Perdata Internasional yang mengatur ketentuan-ketentuan dalam transaksi bisnis antara pelaku bisnis yang berasal dari dua atau lebih negara yang berbeda melalui suatu sarana kontrak yang dibuat atas kesepakatan oleh para pihak yang terikat dalam transaksi bisnis tersebut. Ciri-ciri internasionalnya, harus ada unsur asing dan melampaui batas negara.


II. Dasar Hukum Kontrak Internasional

Yang menjadi dasar hukum untuk melakukan kontrak internasional Menurut Munir Fuadi sebagai berikut :

1). Provision contract

2). General contract

3). Specific contract

4). Kebiasaan Bisnis

5). Yurisprodensi

6). Kaidah Hukum Perdata International

7). International Convention, misalnya UNCITRAL, ICC


Ad 1. Kontrak Provisions :

a). Hal-hal yang diatur di dalam kontrak harus disepakati oleh para pihak, para pihak bebas menentukan isi kontrak yang dibuat di antara mereka ( freedom of contract ). Hal ini sesuai dengan pasal 1338 KUHPdt.

b). Para pihak bebas menentukan kepada siapa dia akan mengadakan perjanjian ( kontrak ) atau para pihak bebas menentukan lawan bisnisnya.


Ad 2. General Contract Law

Menurut Buku III Tentang Perikatan.

Perikatan bersumber dari :

a). Perjanjian : bernama dan tidak bernama.

b). Undang-undang


Ad 3. Specific contract

Hukum Kontract International selain mengatur ketentuan-ketentuan umum, juga mengatur ketentuan-ketentuan khusus yang berkenan dengan kontrak-kontrak tertentu, misalnya ketika kontrak Internasional dibuat dan diatur hukum Indonesia, maka berlakulah pasal-pasal KUHPdt. Bila masalah yang diperjanjikan menyangkut hal yang baru dan tidak ditemukan dalam pasal-pasal KUHPdt (termasuk perjanjian tidak bernama), maka berlakulah asas kebebasan berkontrak.


Ad 4. Kebiasaan Bisnis

Kebiasaan merupakan salah satu sumber hukum, dan hal ini juga terjadi pada hukum bisnis internasional dan kebiasaan bisnis ini dapat menjadi panduan dalam mengatur prestasi kontrak bisnis internasional dengan syarat :

a). Kebiasaan tersebut terjadi perulangan

b). Apa yang dilakukan berulang itu diterima sebagai hukum sehingga disebut hukum kebiasaan (accepted as law )


Ad 5. Yurisprodensi

Dasar hukum yurisprodensi jarang digunakan para pelaku bisnis internasional, karena mereka lebih menyukai lembaga Arbitrase dalam menyelesaikan sengketa bisnis mereka. Mereka tidak menyukai penyelesaian sengketa bisnis mereka melalui Pengadilan karena berperkara melalui pengadilan terbuka untuk umum yang dapat merusak reputasi bisnis mereka.

Ad 6. Kaidah Hukum Perdata Internasional

Kaidah-kaidah Hukum Perdata Internasional lebih banyak digunakan, karena transaksi bisnis internasional melibatkan berbagai pihak dari berbagai negara. Bila terjadi sengketa bisnis yang tidak diatur dalam kontrak, maka digunakanlah kaidah-kaidah hukum perdata internasional yaitu Kaidah The most characteristic connection. Kaidah ini digunakan bilamana para pihak tidak mencantumkan klausula hukum yang digunakan dalam kontrak, yaitu kaidah hukum negara bagi pihak yang memberikan prestasi yang paling karakteristik, misalnya eksportir dari Indonesia, importir dari Jepang, maka yang digunakan adalah hukum Indonesia.


Ad 7. International Convention

- UNCITRAL ( United Nation Convention International Trade Law ).

- ICC (International Chamber of Commercial): melahirkan Arbitrase misalnya di Indonesia BANI, Kadin


III. Teori Pengembangan Kaidah Hukum Kontrak Internasional.

Kaidah Hukum kontrak Internasional lebih banyak menggunakan kaidah hukum perdata internasional dan telah mengalami proses pengembangan yang dimulai dari Lex loci contractus, kemudian lex loci solutionis, dan the prover law of contract akhirnya menjadi the most characteristic connection.

1). Lex loci contracts disebut juga teori mail box, bahwa hukum yang berlaku bagi para pihak yang terikat dalam kontrak internasional yang tidak mencantumkan klausula hukum yang digunakan dalam perjanjian/kontraknya adalah hukum tempat kontrak itu dibuat. Kesulitan terjadi kemudian, bila kontrak dibuat di beberapa tempat, dan dibuat melalui telpon, sehingga timbul teori k-2

2). Lex Loci Solutionis artinya hukum yang berlaku bagi para pihak yang terikat dalam suatu kontrak internasional yang tidak mencantumkan klausula hukum yang digunakan dalam perjanjian/kontraknya adalah hukum tempat pelaksanaan kontrak. Kesulitan kemudian timbul dengan adanya doktrin offer and acceptance (Penawaran dan penerimaan). Kemudian timbul teori ke-3

3). The prover law of contract, apabila suatu kontrak yang dibuat dalam bahasa tertentu dan di dalam kontrak tersebut tidak tercantum klausula hukum yang digunakan, maka hukum yang digunakan adalah hukum negara yang menggunakan bahasa tersebut, misalnya kontrak dalam bahasa Indonesia, maka hukum yang digunakan adalah hukum Indonesia. Kesulitan timbul juga bila kontrak dalam bahasa Inggeris, karena ada beberapa negara yang menggunakan bahasa Inggeris dan kemungkinan para pihak bukan berasal dari negara yang memakai bahasa Inggeris, maka timbullah teori-4.

4). The Most Characteristic connection

Sampai saat ini, teori ini dipakai bila suatu kontrak internasional tidak mencantumkan klausula hukum yang digunakan.


IV.Tahap-tahap Pembuatan Kontrak Internasional

Pembuatan kontrak Internasional melalui tahap-tahap Set up phase ( tahap penyusunan ), implementation/ Performance, dan emforcement (penegakkan).


A. Set up phase atau tahap penyusunan meliputi :

1). planning

- kepada siapa pelaku bisnis membuat hubungan dagang.

- apa yang dipersiapkan

- Objek kontrak

- Tidak semua negara dapat berbisnis dengan kita

2). Negosiation ;

- tawar-menawar

- apakah kontrak bisa dibuat/tidak

- ada kesulitan karena ada perbedaan :

a). legal system---substansinya

- Anglo Saxon ----à arbitrase

- Eropah Continental -àPengadilan

- Sistem Hukum Islam

b). Trade Practice : kebiasaan dagang/ performance.

c). Legal culture = kebiasaan hukum/ budaya hukum -à opini masyarakat terhadap hukum.

3). Documentations :

a). Penyusunan kontrak

b). Penyimpanan/dokumentasi

Kedua hal ini merupakan instrument hukum.


B. Implementtion/performance= pelaksanaan

Perjanjian merupakan sekumpulan janji dari para pihak mengenai hak dan kewajiban. Jika terjadi perbedaan antara

harapan dan pelaksanaan, maka diperlukan tahapan Enforcement.


C. Emforcement = Penegakan

Sengketa bisnis terjadi karena adanya pihak yang wanprestasi berupa :

- Tidak melaksanakan prestasi

- Melaksanakan tapi tidak semua

- Melaksanakan tapi terlambat


Di dalam kontrak internasional tercantum klausula penyelesaian sengketa melalui kesepakatan, apakah ditempuh cara :

- Litigasi = pengadilan

- Non litigaasi : arbitrase, negosiasi, konsialisi dan mediasi.


V. Arbitrase

a). Arbitrase adalah suatu cara penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada

perjanjian/kontrak tertulis yang dibuat oleh para pihak yang bersengketa ( Undang-undang no 30 tahun 1999 ). Hanya

sengketa bisnis yang dapat diserahkan kepada Arbitrase yaitu sengketa yang memungkinkan dapat ditempuh jalan

damai. Putusan arbitrase bersifat final and binding atau terakhir dan mengikat. Di dalam kontrak harus diawali dengan

tertulis mengenai pilihan forum (choice of forum). Di Indonesia arbitrase diatur dalam Undang-undang no 30 tahun 1999.


Bentuk arbitrase ada 2 macam, yaitu :

1). Arbitrase institusional :

- arbitrase permanen

- arbitrase melembaga

2). Arbitrase ad hoc :

- sementara

- khusus

- valunter = sukarela


b). Bentuk perjanjian arbitrase ada 2 macam :

1). Factum de compromittendo, yaitu suatu bentuk perjanjian yang dibuat dan disepakati oleh para pihak, sebelum

adanya sengketa dan klausula dibuat/dicantumkan di dalam perjanjian pokok. Perjanjian arbitrase selalu didahului

dengan perjanjian pokok, tanpa perjanjian arbitrase, perjanjian pokok dapat berjalan, sehingga perjanjian arbitrase

disebut perjanjian assesori (perjanjian lanjutan/tambahan)

2). Kebalikan dari factum de compromittendo, yaitu Perjanjian arbitrase dibuat setelah terjadi sengketa.


VI. Kelabihan penyelesaian sengketa melalui Arbitrase dari pada Pengadilan

Terdapat beberapa alasan sehingga pelaku bisnis negara-negara maju menyelesaikan sengketa bisnisnya melalui arbitrase,

yaitu :

1). Tidak terdapat badan peradilan internasional yang dapat mengadili sengketa-sengketa dagang internasional.

2). Penyelesaian sengketa arbitrase cepat dan murah. Sifat cepat dan murah berhubungan dengan proses dan prosedur

arbitrase yang cenderung lebih sederhana dibandingkan dengan prosedur peradilan. Sifat ini sangat dibutuhkan

masyarakat bisnis yang bersifat efisien dan berorintasi pada profit

3). Dapat dihindari efek negative suatu publikasi.Hal ini sangat penting dengan sifat konfidentio daripada pertimbangan

arbitrase dalam memutuskan perkara. Tidak seluruh hal yang berkaitan dengan sengketa yang diputus adalah baik untuk

diketahui umum karena berkaitan dengan bonafiditas perusahaan. Pelaku bisnis enggan menyelesaikan sengketa bisnis

mereka melalui pengadilan, karena salah satu asas dalam berperkara melalui pengadilan adalah sidang terbuka untuk umum,

bila tidak terbuka untuk umum maka putusan pengadilan tidak sah. Pelaku bisnis tidak menyukai sengketa bisnis mereka

dipublikasikan,mereka selalu menjaga reputasinya. sehingga ditempuh cara penyelesaian sengketa bisnis melalui lembaga

arbitrase yang relative lebih tertutup.

4). Kekhawatiran terhadap kualitasa forum peradilan nasional. Pengusaha asing cenderung merasa unsafe (tidak aman)

menggunakan hukum nasional negara tertentu. Mareka merasa kurang paham dan kurang yakin terhadap perlindungan

hukum yang akan diperolehnya. Hal ini berhubungan dengan citra umum kwalitas hukum nasional suatu negara.

5). Pembebasan diri dari forum hakim nasional, dilakukan dengan menetapkan “arbitrase clause” dalam kontrak, yaitu klausula

tentang forum yang akan digunakan dalam menyelesaikan sengketa. Melalui klausula ini para pihak menentukan bahwa jika

kelak timbul sengketa dari ikatan bisnis yang dibentuknya, akan menggunakan forum arbitrase luar negeri, seperti arbitrase

menurut ICC di Paris.

6). Pencegahan terjadinya “forum shopping” = forum penyelundupan = itikad buruk untuk mengalihkan persoalan. Hal ini

terjadi di pengadilan umum, sehingga harus berperkara melalui arbitrase

7). Pencegahan peradilan ganda terhadap kasus yang sama, hal ini sering timbul akibat perbedaan penafsiran para pihak.

http://tadjuddin.blogspot.com/2011/07/hukum-kontrak-internasional.html

» Read Full Article

aspek hukum perusahaan multinasional


aspek hukum perusahaan multinasional


Pengertian Perseroan Terbatas menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 adalah sebagai berikut:
Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut perseroan adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal. Didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya.”
Dari pengertian tersebut terlihat bahwa perseroan terbatas memiliki unsur-unsur:
1. Merupakan badan hukum , artinya adalah tidak lebih dari sekumpulan sejumlah orang yang terikat oleh suatu organisasinyang mempunyai tujuan tertentu, dan kumpulan orang-orang inilah yang dipandang sebagai manusia. Oleh karena itu badan hukum mempunyai harta kekayaan sendiri yang terlepas dari kekayaan pengurusnya, dan dapat berhubungan dengan pihak lain dalam pergaulan hukum.
2. Merupakan persekutuan modal, artinya adalah modal perseroan tidak hanya satu tetapi beberapa modal yang disetor oleh pemilik modal yaitu pemegang saham.
3. Didirikan berdasarkan perjanjian, artinya adalah perseroan tidak dapat didirikan satu orang yang hal ini sejalan dengan perseroan merupakan persekutuan modal. Perjanian dilakukan berdasarkan pasal 1320 KUHPerdata.
4. Modal terbagi, artinya adalah modal dipecah menjadi beberapa atau sejumlah saham yang berarti modal perseroan harus dimiliki oleh beberpaa orang dan masing-masing mempunyai tanggung jawab sebesar nilai saham yang dimasukkan ke dalam perseroan.
5. Memenuhi persyaratan undang-undang , artinya adalah harus memenuhi undang-undang perseroan dan peraturan pelaksanaannya. Hal ini menunjukkan bahwa perseroan menganut sistem tertutup.
B. Multi National Corporation (MNC)
Multi National Corporation (MNC) adalah jenis khusus perusahaan internasional perusahaan yang terlibat dalam sembarang kombinasi aktivitas mulai dari mengekspor atau mengimpor sampai pada skala penuh proses pemanufakturan di luar negeri. Multi National Corporation (MNC) adalah pengembangan lebih jauh perusahaan internasional dengan keterlibatan mencakup seluruh dunia dan manajemen serta pengambilan keputusannya mempunyai perspektif global. Perusahaan Multi Nasional adalah unit-unit usaha yang memiliki atau mengontrol aset-aset seperti pabrik, pertambangan, perkebunan, outlet (pusat penjualan) dan perkantoran yang terdapat di dua atau lebih negara. (Colman and Nixson, 1994:344)
Berikut adalah karakteristik MNC(Dymza, 1972):[1]
a) Pembuat keputusan selalu mempertimbangkan kesempatan yg ada secara global
b) Sejumlah aset MNC diinvestasi secara internasional
c) Bergerak dalam produksi internasional dan mengoperasikan beberapa pabrik di beberapa negara
d) Pengambilan keputusan manajerial didasarkan pada perspektif yang meliputi seluruh dunia.
Peranan Perusahaan Transnasional
  • Sebagai alat utama dalam internasionalisasi di bidang produksi
  • Menyatunya berbagai ekonomi dan menambah ketergantungan antar Negara
  • Membantu pembagunan ekonomi suatu Negara
Peraturan nasional
  • UUPMA No 1 tahun 1967
  • Bebrapa amandemen tahun 1970
  • Surat edaran BKPM 1974-1975
  • PP no 17 tahun 1992 tentang persyaratan pemilikan saham dalam perusahaan penanaman modal asing :kepemilikan saham 100% diperkenankan kembali
  • Paket juli 19992
  • PP no 20 tahun 1994 tentang penanaman modal asing
Tata cara pembayaran luar negri –Letter of credit
  • L/C digunakan untuk membiayai transaksi perdagangan internasional
  • UCP: L/C merupakan janji pembayaran dari bank penerbit untuk melakukan pembayaran kepada penerima dengan ersyaratan L/C
  • Emmy pangaribuan :suatu surat perintah membayar kepada seseorang atau beberapa orang yang dialamati untuk melakukan pembayaran sejumlah uang tertentu yang disebut dalam surat perintah itu kepada seseorang tertentu
Pengaturan L/C
  • UCP-DC 500 (uniform costums and practice for documentary credits)-1994
Beberapa istilah
  • Opener/applicant:importer yang meminta bantuan bank devisanya untuk membuka L/C guna keperluan penjual atau eksportir
  • Opening bank/issuing bank: bank devisa yang dimintai bantuannya oleh eksportir
  • Advising bank/negotiating bank: BANK koresponden di Negara eksportir yang berkewajiban untuk menyampaikan amanat yang terkandung dalam L/C kepada eksportir yang berhak
  • Beneficiary : eksportir yang menerima pembukaan L/C dan diberi hak untuk menarik uang dari dana L/C yang tersedia
Peranan L/C dalam perdagangan Internasional
  • Memudahkan pelunasan pembayaran transaksi ekspor
  • Mengamankan dana yang disediakan importer untuk membayar barang impor
  • Menjamin kelengkapan dokumen pengapalan
Klasifikasi L/C
  • Revocable L/C : L/C yang dapat diubah atau dibatalkan oleh bank penerbit setiap saat tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada penerima
  • Irrevocable L/C : L.C yang perubahan atau pembatalannya harus dengan persetujuan penerima, janji pasti dari bank penerbit untuk membayar L/C sepanjang dokumen yang diajukan sesuai dengan persyaratan L/C
  • Sight payment L/C: L/C yang pembayarannya dilakukan secara tunai
  • Acceptence L/C : L/C yang pembayarannya secara berjangka


sumber : http://kuliahade.wordpress.com/2010/01/25/hukum-perusahaan-perusahaan-multinasionaltransnasional/

» Read Full Article

Aspek Hukum Dalam Ekonomi Kelautan




Aspek Hukum Dalam Ekonomi Kelautan




Undang-undang No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan
Pesatnya perkembangan zaman dan permasalahan di bidang perikanan diikuti juga oleh Pemerintah Indonesia dengan dikeluarkannya UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan pada tanggal 14 September 2004 yang menggantikan UU No. 9 Tahun 1985 misalnya, merupakan salah satu jawaban dari Pemerintah Indonesia dalam mengejar ketertinggalanya pada bidang hukum perikanan. Meski tidak diaatur secara khusus mengenai sistem bagi hasil, UU No. 31 tahun 2004 mengamanatkan untuk menciptakan kemitraan usaha yang saling menguntungkan. Lebih lengkapnya tertuang pada Pasal 63 UU No. 31 Tahun 2004, yaitu ”Pengusaha perikanan mendorong kemitraan usaha yang saling menguntungkan dengan kelompok nelayan kecil atau pembudi daya ikan kecil dalam kegiatan usaha perikanan”,
Hukum Adat
Menurut Wignjodipoero (1967) adat adalah pencerminan dari pada kepribadian suatu bangsa, merupakan salah satu penjelmaan dari pada jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad ke abad dan adat adalah endapan kesusilaan dalam masyarakat, yaitu bahwa kaidah-kaidah adat itu berupa kaidah-kaidah kesusilaan yang kebenarannya telah mendapatkan pengakuan umum dalam masyarakat itu. Sementara Soekanto (2001) berpendapat bahwa hukum adat merupakan bagian dari adat istiadat, maka dapatlah dikatakan bahwa hukum adat merupakan konkritisasi daripada kesadaran hukum, khususnya pada masyarakat-masyarakat dengan struktur sosial dan kebudayaan sederhana.
Hukum adat memiliki dua unsur yaitu: (1) unsur kenyataan, bahwa adat itu dalam kedaan yang sama selalu diindahkan oleh rakyat; dan (2) unsur psikologis, bahwa terdapat adanya keyakinan pada rakyat, artinya adat mempunyai kekuatan hukum (Wignjodipoero, 1967). Oleh karena itu, unsur inilah yang menimbulkan adanya kewajiban hukum (opinioyuris necessitatis). Selanjutnya Wignjodipoero (1967) menjelaskan bahwa didalam kehidupan masyarakat hukum adat, umumnya terdapat tiga bentuk hukum adat, yaitu :
1. Hukum yang tidak terulis (jus non scriptum); merupakan bagian yang terbesar.
2. Hukum yang tertulis (jus scriptum); hanya sebagian kecil saja, misalnya peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh raja-raja atau sultan-sultan.
3. Uraian-uraian hukum secara tertulis, lazimya uraian-uraian ini adalah suatu hasil penelitian (research) yang dibukukan.
Sebagai negara yang majemuk, masyarakat pesisir Indonesia mengenal sistem bagi hasil perikanan secara adat. Pelaksanaan pola bagi hasil secara adat telah berlangsung secara turun temurun dan masyarakat perikanan (nelayan dan pembudidaya ikan) menganggap pola bagi hasil tersebut sudah sangat adil. Hal ini dikarenakan, pola bagi hasil perikanan secara adat lebih mengutamakan kepada pembagian yang sama antara pemilik dan penggarap yaitu 50:50.
Sistem Bagi Hasil untuk Kesejahteraan
Secara teoritis, pola yang diatur oleh pemerintah sangat bagus dan dapat menciptakan keadilan. Namun yang terjadi di lapang sangat berbeda, karena nelayan, khususnya nelayan pemilik lebih memilih sistem bagi hasil secara adat yang menguntungkan satu pihak. Sebagaimana yang telah diungkapkan sebelumnya, bahwa ketidakmampuan nelayan penggarap dalam menentukan pola bagi hasil yang mengukuhkan nelayan dalam kubangan kemiskinan salah satunya disebabkan oleh posisi tawar mereka yang sangat lemah sehingga menjadi “bulan-bulanan” pihak yang kuat yang notabene adalah nelayan pemilik.
Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi berbeda pola bagi hasil di masyarakat nelayan, diantara yaitu: Pertama, unit atau jenis alat tangkap. Distribusi bagian atau prosentase bagi hasil perikanan tergantung pada unit atau jenis alat tangkapnya. Perbedaan bagai atau prosentase bagi hasil usaha perikanan ini dikarenakan besarnya kapasitas kapal atau perahu, jenis dan ukuran mesin yang digunakan, dan sifat atau ketahanan alat tangkap yang digunakan.
Kedua, kemampuan dan kedudukan tenaga kerja. Kemampuan atau kedudukan tenaga kerja akan membedakan besar kecilnya bagiannya yang diterima dari bagi hasil perikanan. Misalnya, karena peran juru mudi sebagai nakhoda yang mempunyai tanggung jawab besar sebagai pimpinan rombongan nelayan dalam memperoleh hasil tangkapan, sehingga juru mudi memperoleh bagian besar dari pada nelayan yang berperan sebagai juru mesin (motoris) maupun pandega. Begitu juga dengan bagian yang diterima oleh motoris akan lebih besar dari pada bagian yang akan diperoleh pandega, karena motoris mempunyai tanggung jawab terhadap mesin yang digunakan alat tangkap dan merupakan tangan kanan dari juru mudi.
Ketiga, adat kebiasaan. Umumnya bagi hasil secara adat ini telah berlangsung secara turun temurun sehingga sering dikatakan sebagai hukum kebiasaan. Ironisnya, meski bagi hasil secara adat itu kerap merugikan nelayan penggarap, namun aturan ini tidak bisa diubah dan diperbaharui karena masyarakat nelayan sendiri menganggap bahwa aturan ini telah adil dan sesuai dengan keadaan mayarakat setempat. Hal inilah salah satunya yang menyebabkan kenapa UU No. 16 tahun 1964 tidak berjalan, karena mendapatkan resistensi atau penolakan dari nelayan pemilik atau pemilik tambak.
Sementara itu, adapun faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan UU No. 16 tahun 1964 tentang Bagi Hasil Perikanan, diantara yaitu: Pertama, ketidaktahuan masyarakat nelayan terhadap Undang-undang Bagi Hasil Perikanan. Ketidaktahuan masyarakat terhadap keberadaan Undang-undang Bagi Hasil Perikanan disebabkan oleh lemah atau kurangnya sosialisasi atau penyuluhan oleh pemerintah kepada masyarakat nelayan dan pembudidaya ikan.
Kedua, tingkat pendidikan yang rendah. Tidak berjalannya Undang-undang Bagi Hasil Perikanan ini juga disebabkan oleh lemahnya pendidikan masyarakat, khusunya masyarakat yang hidup disekitar pesisir.
Ketiga, kekuatan adat kebiasaan. Kuatnya pola bagi hasil secara adat oleh masyarakat setempat karena dipertahankan sejak dulu oleh para masyarakat pemilik, nelayan pemilik maupun pemilik tambak, sehingga sangat sulit menerima suatu perubahan dalam melaksanakan kebiasaanya.
Keempat, kemampuan tenaga kerja. Bagian yang diperoleh masing-masing tenaga kerja seperti bagian untuk juru mudi, juru mesin dan pandega sangat bergantung pada kebisaan nelayan pemilik (juragan) dalam melaksanakan usahanya.
Kelima, adanya kelemahan Undang-undang Bagi Hasil Perikanan. Pada Undang-undang Bagi Hasil Perikanan tidak memperhatikan keseimbangan perbandingan bagi hasil antara nelayan pemilik dan nelayan penggarap pada setiap alat tangkap yang berbeda. Hal ini dikarenakan, setiap alat tangkap mempunyai jumlah tenaga kerja yang berbeda, ukuran kapal atau perahu yang berbeda dan kapasitas mesin yang berbeda pula. Selain itu, Undang-undang Bagi Hasil Perikanan ini juga terkesan mengabaikan pola bagi hasil secara adat yang mungkin telah hadir jauh sebelum Indonesia ada. Artinya, ke depannya dalam Undang-undang Bagi Hasil Perikanan yang baru harus memperhatikan sistem atau pola bagi hasil secara adat, agar tidak menimbulkan resistensi nelayan, khususnya nelayan pemilik.
Tidak berjalannya pola bagi hasil sesuai Undang-undang Bagi Hasil Perikanan, tercermin dari beberapa studi yang telah dipaparkan pada bagian sebelumnya, dimana masyarakat lebih memilih adat kebiasaan yang sebenarnya merugikan nelayan penggarap dan penggarap tambak. Dari beberapa paparan hasil studi pada bagian sebelumnya terkesan bahwa proses bagi hasil telah sesuai dengan rasa keadilan, yaitu telah memenuhi kriteria minimum yang harus diperoleh masing-masing pihak. Namun bila dianalisa lebih dalam dengan berdasar pada Undang-undang Bagi Hasil Perikanan, maka hal ini akan kelihatan jauh menyimpang dari aturan dan rasa keadilan.
Bila ditinjau dari batasan hasil bersih, perbedaan ini akan terlihat jelas. Umumnya, yang dimaksud hasil bersih nelayan secara adat adalah nilai produksi total setelah dikurangi dengan lawuhan untuk para penggarap selama di laut (jika operasinya memakan waktu lebih dari sehari), dan retribusi, ransum serta biaya operasi. Sedangkan yang dimaksud hasil bersih dalam Undang-undang Bagi Hasil Perikanan adalah hasil ikan yang diperoleh dari penangkapan, yang setelah diambil sebagian untuk lawuhan para nelayan penggarap menurut kebiasaaan setempat, dikurangi dengan beban-beban menjadi tanggungan bersama dari nelayan pemilik dan nelayan penggarap, yaitu ongkos lelang, uang rokok, dan biaya perbekalan untuk para nelayan penggarap selama di laut, biaya sedekah laut serta iuran-iuran yang disyahkan oleh Pemda yang bersangkutan seperti koperasi dan sebagainya. Dengan demikian, jelas bahwa hasil bersih yang dimaksud oleh pada bagi hasil secara adat berbeda dengan hasil bersih yang ditetapkan dalam Undang-undang Bagi Hasil Perikanan. Jadi dalam hal ini, walaupun bagian penggarap lebih besar dari batas minimum yang ditetapkan oleh Undang-undang Bagi Hasil Perikanan, akan tetapi para penggarap tersebut masih ikut menanggung biaya eksploitasi. Sedangkan dalam Pasal 4 Undang-undang Bagi Hasil Perikanan ditetapkan bahwa biaya eksploitasi adalah tanggungan pemilik, bukan tanggungan bersama sebagaimana yang berlaku pada bagi hasil secara adat.
Di tengah pencarian rasa adil dalam pola bagi hasil antara pemilik dengan penggarap, sistem bagi hasil alternatif temuan PKSPL (2002) dan Muhartono (2004) nampaknya bisa dijadikan rujukan. Mengingat, sistem bagi hasil alternatif memasukan biaya penyusutan. Hadirnya sistem bagi hasil alternatif didasarkan pada adanya ketidakadilan dalam proses pembagian hasil secara adat. Pihak nelayan selalu dirugikan secara sepihak serta menjadi pihak yang selalu menerima tanpa pilihan. Bagi hasil alternatif memakai asumsi bahwa setiap usaha memiliki biaya penyusutan tiap tahun dan pada tahun ke-n biaya investasi akan tertutupi sesuai dengan waktu balik modal (payback period), sehingga setelah tahun ke-n diharapkan pendapatan nelayan akan meningkat seiring dengan berubahnya proporsi bagi hasil. Waktu yang dibutuhkan untuk menutupi biaya investasi sangat ditentukan oleh jumlah dan harga hasil tangkapan. Selain itu ditentukan juga oleh biaya variabel yang dikeluarkan tiap melaut. Asumsi lain yang digunakan dalam bagi hasil alternatif adalah buruh diposisikan sebagai share holder (pemberi masukan dalam setiap pengambilan keputusan).
Bagi hasil alternatif menggunakan asumsi biaya variabel, opow dan operasional tanggungan bersama. Biaya variabael adalah biaya yang dipergunakan untuk kegiatan penangkapan, seperti solar, air, bersih, dan biaya potasi (makan). Biaya operasional adalah biaya yang dikeluarkan untuk pendukung usaha seperti biaya transportasi membeli keperluan makan. Sedangkan biaya penyusutan ditanggung pemilik kapal dengan konsekuensi bahwa proporsi yang didapat pemilik kapal sebelum tahun ke-n lebih besar bila dibandingkan dengan proporsi nelayan buruh. Sedangkan setelah mencapai tahun ke-n, maka proporsi akan mengalami perubahan.
Bagi hasil alternatif juga mengakomodir keberatan pemilik mengenai adanya biaya tanggungan pemilik (biaya penyusutan, biaya potasi, biaya perawatan) dan mengakomodir mengenai pembagian proporsi 60% : 40% yang tercantum dalam UU No. 16 tahun 1964, yang menyatakan bahwa pada perikanan laut jika dipergunakan kapal motor: minimum 40% dari hasil bersih.


Sumber :http://ikanbijak.wordpress.com/2008/03/18/aspek-hukum-sistem-bagi-hasil-perikanan-dalam-rangka-menciptakan-keadilan/

» Read Full Article

pengertian konsumen


1. PENGERTIAN KONSUMEN
Pengertian Konsumen

Menurut Undang-undang no. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen :
Pasal 1 butir 2 :
“ Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/ atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.
Menurut Hornby :
“Konsumen (consumer) adalah seseorang yang membeli barang atau menggunakan jasa; seseorang atau suatu perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu; sesuatu atau seseorang yang menggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang; setiap orang yang menggunakan barang atau jasa”.
Didalam realitas bisnis seringkali dibedakan antara :
Consumer (konsumen) dan Custumer (pelanggan).
Konsumen adalah semua orang atau masyarakat. Termasuk pelanggan.
Pelanggan adalah konsumen yang telah mengkonsumsi suatu
produk yang di produksi oleh produsen tertentu.
Konsumen Akhir dengan Konsumen Antara :
Konsumen akhir adalah Konsumen yang mengkonsumsi secara langsung produk yang diperolehnya;
Konsumen antara adalah konsumen yang memperoleh produk untuk memproduksi produk lainnya.


Pengertian Perlindungan Konsumen
Sedangkan pengertian perlindungan konsumen yaitu :
Menurut Undang-undang no. 8 Tahun 1999, pasal 1 butir 1 : “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen”.
GBHN 1993 melalui Tap MPR Nomor II/MPR/1993, Bab IV, huruf F butir 4a: “pembangunan perdagangan ditujukan untuk memperlancar arus barang dan jasa dalam rangka menunjang peningkatan produksi dan daya saing, meningkatkan pendapatan produsen, melindungi kepentingan konsumen.”
Hukum Perlindungan Konsumen
Hukum perlindungan konsumen adalah :“Keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para penyedia barang dan/ atau jasa konsumen”.
Jadi, kesimpulan dari pengertian –pengertian diatas adalah :
Bahwa Hukum perlindungan Konsumen dibutuhkan apabila kondisi para pihak yang mengadakan hubungan hukum atau yang bermasalah dalam keadaan yang tidak seimbang.

2. AZAS DAN TUJUAN
Tujuan Perlindungan Konsumen
Sesuai dengan pasal 3 Undang-undang no. 8 tahun 1999 Perlindungan Konsumen, tujuan dari Perlindungan ini adalah :
* Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri,
* Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa,
* Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen,
* Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi,
* Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan ini sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha,
* Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.


Azas Perlindungan Konsumen
Adapun Azas perlindungan konsumen antara lain :

* Asas Manfaat; mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan ini harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan,
* Asas Keadilan; partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil,
* Asas Keseimbangan; memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual,
* Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen; memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalarn penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan;
* Asas Kepastian Hukum; baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

3. HAK DAN KEWAJIBAN KONSUMEN
Hak-hak Konsumen
Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen, Hak-hak Konsumen adalah :

* Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
* Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
* Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
* Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
* Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
* Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
* Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
* Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi/penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
* Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Kewajiban Konsumen
Tidak hanya bicara hak, Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen juga memuat kewajiban konsumen, antara lain :
* Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
* Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
* Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
* Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.


4. HAK DAN  KEWAJIBAN PELAKU USAHA

Hak Pelaku Usaha
Seperti halnya konsumen, pelaku usaha juga memiliki hak dan kewajiban. Hak pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Undang-undang perlindungan konsumen  adalah:
Ø hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan
Ø hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik
Ø hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen
Ø hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan
Ø hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Kewajiban Pelaku Usaha
Sedangkan kewajiban pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 7 Undang-undang perlindungan konsumen  adalah:
Ø beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
Ø memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
Ø memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
Ø menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
Ø memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
Ø  memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
Ø  memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
5. PERBUATAN YANG DILARANG BAGI PELAKU USAHA


Perbuatan yang dilarang bagi Pelaku Usaha
Adapun perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha yaitu :
1) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa yang :
a.Tidak sesuai dengan :
ü standar yang dipersyaratkan;
ü peraturan yang berlaku;
ü ukuran, takaran, timbangan dan jumlah yang sebenarnya.
b.Tidak sesuai dengan pernyataan dalam label, etiket dan keterangan lain mengenai barang  dan/atau jasa yang menyangkut :
ü berat bersih;
ü isi bersih dan jumlah dalam hitungan;
ü kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran;
ü mutu, tingkatan, komposisi;
ü proses pengolahan;
ü gaya, mode atau penggunaan tertentu;
ü janji yang diberikan;
c.Tidak mencantumkan :
ü tanggal kadaluarsa/jangka waktu penggunaan/ pemanfaatan paling baik atas barang tertentu;
ü informasi dan petunjuk penggunaan dalam bahasa indonesia sesuai dengan ketentuan yang berlaku
d.Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label
e.Tidak memasang label/membuat penjelasan yang memuat:
ü Nama barang;
ü Ukuran, berat/isi bersih, komposisi;
ü Tanggal pembuatan;
ü Aturan pakai;
ü Akibat sampingan;
ü Nama dan alamat pelaku usaha;
ü Keterangan penggunaan lain yang menurut ketentuan harus dipasang atau dibuat
f.Rusak, cacat atau bekas dan tercemar (terutama sediaan Farmasi dan Pangan), tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.
2)Dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan barang dan/atau jasa :
a.Secara tidak benar dan/atau seolah-olah barang tersebut :
ü Telah memenuhi standar mutu tertentu, potongan harga/harga khusus, gaya/mode tertentu, sejarah atau guna tertentu.
ü Dalam keadaan baik/baru, tidak mengandung cacat, berasal dari daerah tertentu, merupakan kelengkapan dari barang tertentu.
b.Secara tidak benar dan seolah-olah barang dan/atau jasa tersebut :
ü Telah mendapatkan/memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesoris tertentu.
ü Dibuat perusahaan yangmempunyai sponsor, persetujuan/afiliasi.
ü Telah tersedia bagi konsumen.
c.Langsung/tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain.
d.Menggunakan kata-kata berlebihan, secara aman, tidak berbahaya, tidak mengandung resiko/efek samping tanpa keterangan lengkap.
e.Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
f. Dengan harga/tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika bermaksud tidak dilaksanakan.
g.Dengan menjanjikan hadiah cuma-cuma, dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan tetapi tidak sesuai dengan janji.
h.Dengan menjanjikan hadiah barang dan/atau jasa lain, untuk obat-obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan dan jasa pelayanan kesehatan.
3) Dalam menawarkan barang dan/atau jasa untuk diperdagangkan dilarang mempromosikan,mengiklankan  atau membuat pernyataan tidak benar atau menyesatkan mengenai :
a.Harga/tarifdan potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan.
b.Kondisi, tanggungan, jaminan, hak/ganti rugi atas barang dan/atau jasa.
c.Kegunaan dan bahaya penggunaan barang dan/aatau jasa. 
4) Dalam menawarkan barang dan/atau jasa untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah dengan cara undian dilarang :
a.Tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu dijanjikan.
b.Mengumumkan hasilnya tidak melalui media massa.
c.Memberikan hadiah tidak sesuai janji dan/atau menggantikannya dengan hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan.
5) Dalam menawarkan barang dan/atau jasa, dilarang melakukan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan kepada konsumen baik secara fisik maupun psikis.
6) Dalam hal penjualan melalui obral atau lelang, dilarang menyesatkan dan mengelabui konsumen dengan :
a.Menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah memenuhi standar mutu tertentu dan tidak mengandung cacat tersembunyi.
b.Tidak berniat menjual barang yang ditawarkan,melainkan untuk menjual barang lain.
c.Tidak menyediaakan barang dan/atau jasa dalam jumlah tertentu/cukup dengan maksud menjual barang lain.
d.Menaikkan harga sebelum melakukan obral.


6. KLAUSAN BAKU DALAM PERJANJIAN

Klausa Baku dalam Perjanjian
Sehubungan dengan perlindungan terhadap konsumen, yang perlu mendapat perhatian utama dalam perjanjian baku adalah mengenai klausula eksonerasi (exoneratie klausule exemption clausule) yaitu klausula yang berisi pembebasan atau pembatasan pertanggungjawaban dari pihak pelaku usaha yang lazimnya terdapat dalam jenis perjanjian tersebut.
Menurut Pasal 18 Ayat (1) menyebutkan mengenai klausula-klausula yang dilarang dicantumkan dalam suatu perjanjian baku yaitu:
a.menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b.menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
c.menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d.menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e.mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f.memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
g.menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h.menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

Dalam penjelasan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyebutkan tujuan dari larangan pencantuman klausula baku yaitu “Larangan ini dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak” sehingga diharapkan dengan adanya Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen akan memberdayakan konsumen dari kedudukan sebagai pihak yang lemah di dalam di dalam kontrak dengan pelaku usaha sehingga menyetarakan kedudukan pelaku usaha dengan konsumen.
Sesuai dengan Pasal 18 ayat (2) disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. Pencantuman klausula baku tersebut dapat berupa tulisan kecil-kecil yang diletakkan secara samar atau letaknya ditempat yang telah diperkirakan akan terlewatkan oleh pembaca dokumen perjanjian tersebut, sehingga saat kesepakatan tersebut terjadi konsumen hanya memahami sebagian kecil dari perjanjian tersebut. Artinya perjanjian tersebut hanya dibaca sekilas, tanpa dipahami secara mendalam konsekuensi yuridisnya, yang membuat konsumen sering tidak tahu apa yang menjadi haknya.

7.TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA

Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Pengertian tanggung jawab produk (pelaku usaha), sebagai berikut, ”Tanggung jawab produk adalah tanggung jawab para produsen untuk produk yang telah dibawanya ke dalam peredaran, yang menimbulkan/ menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut.“
Di dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terdapat 3 (tiga) pasal yang menggambarkan sistem tanggung jawab produk dalam hukum perlindungan konsumen di Indonesia, yaitu ketentuan Pasal 19 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen merumuskan tanggung jawab produsen sebagai berikut:
1.Pelaku Usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/ atau kerugian konsumen akibat mengkomsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
2.Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/ atau jasa yang sejenis atau secara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/ atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3.Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.
4.Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasrkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsure kesalahan. (50 Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.”

8. SANKSI – SANKSI

Sanksi-sanksi Pelaku Usaha Sanksi Pelaku Usaha
Sanksi Bagi Pelaku Usaha Menurut Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Sanksi Perdata :
· Ganti rugi dalam bentuk :
o Pengembalian uang atau
o Penggantian barang atau
o Perawatan kesehatan, dan/atau
o Pemberian santunan
· Ganti rugi diberikan dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi
Sanksi Administrasi :
maksimal Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah), melalui BPSK jika melanggar Pasal 19 ayat (2) dan (3), 20, 25

Sanksi Pidana :
· Kurungan :
o Penjara, 5 tahun, atau denda Rp. 2.000.000.000 (dua milyar rupiah) (Pasal 8, 9, 10, 13 ayat (2), 15, 17  ayat (1) huruf a, b, c, dan e dan Pasal 18
o Penjara, 2 tahun, atau denda Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) (Pasal 11, 12, 13 ayat (1), 14, 16 dan 17 ayat (1) huruf d dan f

* Ketentuan pidana lain (di luar Undang-undang No. 8 Tahun. 1999 tentang Perlindungan Konsumen) jika konsumen luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian 
* Hukuman tambahan , antara lain :
o Pengumuman keputusan Hakim
o Pencabuttan izin usaha;
o Dilarang memperdagangkan barang dan jasa ;
o Wajib menarik dari peredaran barang dan jasa;
o Hasil Pengawasan disebarluaskan kepada masyarakat . 

sumber :  

» Read Full Article